Batu di Pekarangan Rumah
Waktu aku masih
kecil ada sebuah
batu agak besar tergeletak di
salah satu sudut
belakang pekarangan rumah kami.
Batu itu
bundar, bagian atasnya agak rata,
hitam
legam. Aku suka duduk di atasnya
jika temanteman
sudah pulang ke rumah
masing-masing
sehabis bermain di pekarangan
rumah kami
itu. Aku sayang sekali pada batu
itu sebab ia
pendiam meskipun tampaknya tidak
berkeberatan jika diajak bicara
mengenai apa
saja.
Jika sedang
sendirian malam-malam,
sehabis bermain gobak sodor atau
jamuran
aku suka duduk di atasnya
melepaskan lelah
sambil menunjukkan rasa sayangku
padanya.
Kutanyakan kapan
ia lahir, sebagai batu,
kenapa ia berada di situ, siapa
yang telah
membawanya ke pekarangan rumah
kami, dan
kenapa ia lebih suka membisu. Aku
tidak
mengharapkannya menjawab
pertanyaanpertanyaanku
itu, sebab toh seandainya
dijawab aku tidak akan bisa
memahaminya.
Ia memiliki
bahasa lain, tetapi tampaknya ia
memahami sepenuhnya makna setiap
pertanyaanku. Aku sangat
menyayanginya dan
merasa seperti kehilangan kawan
untuk
berbagi perasaan ketika harus
pergi meninggalkan
rumah demi mata pencaharian,
mengembara dari kota ke kota.
Hari ini aku
pulang untuk mengiringkan
dan menyampaikan salam pisah
kepada ibuku
yang selalu aku bayangkan sebagai
seorang
dewi itu. Beliau meninggal dengan
sangat
tenang kemarin tanpa meninggalkan
pesan apa
pun. Namun aku merasa bahwa ada
sesuatu
yang harus kulakukan sehabis pemakamannya,
yakni melihat apakah batu itu
masih ada di
tempatnya yang dulu. Aku yakin
dulu Ibu suka
diam-diam menyaksikanku duduk di
situ
sampai larut malam. Batu yang
agak besar
dan hitam legam itu ternyata
memang masih
di situ, diam saja seperti menunggu
kedatanganku.
Malam ini
suasana sepi setelah
semua keluar dan tamu yang
menyampaikan
belasungkawa meninggalkan rumah
kami.
Aku dan batu itu
berdua saja: aku duduk di
atasnya dan sama sekali tidak
berniat mengajukan
pertanyaan seperti waktu masih
kecil
dulu itu. Ia tetap pendiam. Dan
aku yakin
bahwa sekarang ia pun sama sekali
tidak
berminat berbagi perasaan
denganku karena
tidak lagi mampu menguasai
kosakata
bahasaku.