Jumat, 12 September 2014

Cerpen

Batu di Pekarangan Rumah

Waktu aku masih kecil ada sebuah
batu agak besar tergeletak di salah satu sudut
belakang pekarangan rumah kami. Batu itu
bundar, bagian atasnya agak rata, hitam
legam. Aku suka duduk di atasnya jika temanteman
sudah pulang ke rumah masing-masing
sehabis bermain di pekarangan rumah kami
itu. Aku sayang sekali pada batu itu sebab ia
pendiam meskipun tampaknya tidak
berkeberatan jika diajak bicara mengenai apa
saja.
Jika sedang sendirian malam-malam,
sehabis bermain gobak sodor atau jamuran
aku suka duduk di atasnya melepaskan lelah
sambil menunjukkan rasa sayangku padanya.
Kutanyakan kapan ia lahir, sebagai batu,
kenapa ia berada di situ, siapa yang telah
membawanya ke pekarangan rumah kami, dan
kenapa ia lebih suka membisu. Aku tidak
mengharapkannya menjawab pertanyaanpertanyaanku
itu, sebab toh seandainya
dijawab aku tidak akan bisa memahaminya.
Ia memiliki bahasa lain, tetapi tampaknya ia
memahami sepenuhnya makna setiap
pertanyaanku. Aku sangat menyayanginya dan
merasa seperti kehilangan kawan untuk
berbagi perasaan ketika harus pergi meninggalkan
rumah demi mata pencaharian,
mengembara dari kota ke kota.
Hari ini aku pulang untuk mengiringkan
dan menyampaikan salam pisah kepada ibuku
yang selalu aku bayangkan sebagai seorang
dewi itu. Beliau meninggal dengan sangat
tenang kemarin tanpa meninggalkan pesan apa
pun. Namun aku merasa bahwa ada sesuatu
yang harus kulakukan sehabis pemakamannya,
yakni melihat apakah batu itu masih ada di
tempatnya yang dulu. Aku yakin dulu Ibu suka
diam-diam menyaksikanku duduk di situ
sampai larut malam. Batu yang agak besar
dan hitam legam itu ternyata memang masih
di situ, diam saja seperti menunggu kedatanganku.
Malam ini suasana sepi setelah
semua keluar dan tamu yang menyampaikan
belasungkawa meninggalkan rumah kami.
Aku dan batu itu berdua saja: aku duduk di
atasnya dan sama sekali tidak berniat mengajukan
pertanyaan seperti waktu masih kecil
dulu itu. Ia tetap pendiam. Dan aku yakin
bahwa sekarang ia pun sama sekali tidak
berminat berbagi perasaan denganku karena
tidak lagi mampu menguasai kosakata
bahasaku.